Selasa, 06 April 2010

Pahlawan Nasional : Rasuna Said


Hajjah Rangkayo Rasuna Said (Maninjau, Agam, 14 September 1910 � Jakarta, 2 November 1965) adalah salah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia dan juga merupakan pahlawan nasional Indonesia. Seperti Kartini, ia juga memperjuangkan adanya persamaan hak antara pria dan wanita. Ia dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.



H.R. Rasuna Said adalah seorang muda yang mempunyai kemauan yang keras dan berpandangan luas. Awal perjuangan beliau dimulai dengan beraktifitas di Sarekat Rakyat sebagai Sekretaris cabang dan kemudian menjadi anggota Persatuan Muslim Indonesia (PERMI). Beliau sangat mahir dalam berpidato yang isinya mengecam secara tajam ketidak adilan pemerintah Belanda, sehingga beliau sempat ditangkap dan dipenjara pada tahun 1932 di Semarang.

Pada masa pendudukan Jepang, beliau ikut serta sebagai pendiri organisasi pemuda Nippon Raya di Padang yang kemudian dibubarkan oleh Pemerintah Jepang.

H.R. Rasuna Said duduk dalam Dewan Perwakilan Sumatera mewakili daerah Sumatera Barat setelah Proklamasi Kemerdekaan, diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS), kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung sejak 1959 sampai akhir hayat beliau.

H.R. Rasuna diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden R.I. No. 084/TK/Tahun 1974 tanggal 13 Desember 1974.

H.R. Rasuna Said meninggalkan seorang putri (Auda Zaschkya Duski) dan 6 cucu (Kurnia Tiara Agusta, Anugerah Mutia Rusda, Moh. Ibrahim, Moh. Yusuf, Rommel Abdillah dan Natasha Quratul'Ain).

Namanya sekarang diabadikan sebagai salah satu nama jalan protokol di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.

SEJARAH SI SINGA MAHA RAJA


Dia seorang pejuang sejati, yang anti penjajahan dan perbudakan. Pejuang yang tidak mau berkompromi dengan penjajah kendati kepadanya ditawarkan menjadi Sultan Batak. Ia memilih lebih baik mati daripada tunduk pada penjajah. Ia kesatria yang tidak mau mengkhianati bangsa sendiri demi kekuasaan. Ia berjuang sampai akhir hayat.



Perjuangannya untuk memerdekakan ‘manusia bermata hitam’ dari penindasan penjajahan si mata putih (sibontar mata), tidak terbatas pada orang Tapanuli (Batak) saja, tetapi diartikan secara luas dalam rangka nasional.

Semua orang yang bermata hitam dianggapnya saudara dan harus dibela dari penjajahan si mata putih (sibontar mata). Dia merasa dekat dengan siapa saja yang tidak melakukan penindasan, tanpa membedakan asal-usul. Maka ia pun mengangkat panglimanya yang berasal dari Aceh.

Dengan dasar itulah, sehingga ketika pertempuran melawan penjajah Belanda di Balige tahun 1883, Si Singamangaraja XII berupaya mendekati serdadu Belanda yang antara lain terdiri dari saudara-saudara sebangsa dari Jawa yang jelas juga bermata hitam. Ia mencoba memberitahukan persaudaraan di antara mereka dibandingkan dengan orang Belanda, yang ketika itu diidentikkan dengan sekelompok etnis bermata putih yang suka melakukan penindasan.

Raja Si Singamangaraja XII yang lahir pada tahun 1849 di Bakkara, Tapanuli, sebuah daerah di tepian Danau Toba, ini diangkat menjadi raja pada tahun 1867 menggantikan ayahnya Raja Si Singamangaraja XI yang meninggal dunia akibat penyakit kolera. Sebagaimana leluhurnya, sejak Si Singamangaraja II, gelar Raja dan kepemimpinan selalu diturunkan dari pendahulunya secara turun temurun.

Sebagaimana dengan Si Singamangaraja I sampai XI, beliau juga merupakan seorang pemimpin yang sangat menentang perbudakan yang memang masih lazim masa itu. Jika beliau pergi ke satu desa (huta), beliau selalu meminta agar penduduk desa tersebut memerdekakan orang yang sedang dipasung karena hutang atau kalah perang, orang-orang yang ditawan yang hendak diperjualbelikan dan diperbudak.

Pada masa pemerintahannya, kegiatan zending pengembangan agama Kristen oleh Nommensen Cs dari Jerman juga sedang berlangsung di Tapanuli. Tidak begitu lama dengan itu, kekuasaan kolonial Belanda pun mulai memasuki daerah Tapanuli. Maka untuk menghadapi segala kemungkinan, ia pun mulai mengadakan persiapan-persiapan dengan mengadakan musyawarah dengan raja-raja serta panglima daerah Humbang, Toba, Samosir, dan Pakpak/Dairi.

Perang urat syaraf pun makin meningkat pada kedua belah pihak. Walaupun sudah dicoba, jalan damai sudah tidak dapat lagi ditempuh. Maka pada tanggal 19 Pebruari 1878 serangan mulai dilancarkan pasukan Si Singamangaraja XII yaitu rakyat Tapanuli sendiri terhadap pos pasukan Belanda di Bahal Batu, dekat Tarutung.

Pertempuran yang menewaskan banyak penduduk tersebut akhirnya memaksa pasukan Si Singamangaraja mundur. Tapi walaupun harus mundur dari Bahal Batu, semangat juang perlawanan pasukan itu masih tetap tinggi terutama di desa-desa yang belum tunduk pada Belanda seperti Butar, Lobu Siregar, Tangga Batu, dan Balige selaku basis pasukan Si Singamangaraja XII ketika penyerangan ke Bahal Batu.

Sebaliknya di pihak Belanda, dengan kemenangan di Bahal Batu tersebut, semakin berani mengejar terus pasukan Si Singamangaraja XII sampai ke desa-desa yang tidak tunduk pada kolonial. Dalam pengejaran tersebut, mereka selalu membakar desa dan menawan raja-raja desa. Akibatnya, pertempuran pun berkobar di mana-mana seperti di Sipintu-pintu, Tangga Batu, Balige, Bakkara dan sebagainya.

Bahkan dalam pertempuran kedua di Balige, Si Singamangaraja XII sempat terkena peluru di atas lengan, walau lukanya tidak sampai membahayakan nyawanya namun kuda putihnya si hapas pili mati ketika itu. Ia pun melakukan perang gerilia.

Dengan begitu, Si Singamangaraja XII pun terpaksa berpindah-pindah seperti dari Balige ke Bakkara kemudian ke Huta Paung di Dolok Sanggul, selanjutnya ke Lintong (kampung pamannya (tulang) Ompu Babiat Situmorang) dan kembali lagi ke Bakkara, begitulah terkadang berulang. Dan ketika kedua kalinya Si Singamangaraja XII menyingkir ke Lintong, Belanda pun menyerbu ke sana secara tiba-tiba pada tahun 1989.

Mendapat penyerangan yang tiba-tiba dan menghadapi persenjataan yang lebih modern dari Belanda, akhirnya perlawanan gigih pasukan Si Singamangaraja XII pun terdesak. Dari situlah dia dan keluarga serta pasukannya menyingkir ke Dairi, yang kemudian selama 21 tahun tidak mengadakan serangan terbuka pada pasukan Belanda.

Pada kurun waktu itu, beliau tetap mengadakan perlawanan dengan cara melakukan kunjungan ke berbagai daerah seperti ke Aceh dan raja-raja kampung (huta) di Tapanuli dengan maksud agar hubungan di antara mereka tetap terjaga terutama memberi semangat kepada mereka agar tidak mau tunduk pada Belanda. Akibatnya perlawanan oleh raja-raja terhadap Belanda pun kerap terjadi. Pihak Belanda meyakini, bahwa perlawanan yang dilakukan oleh raja-raja kampung itu tidak lepas dari pengaruh Si Singamangaraja XII.

Pihak penjajah Belanda juga melakukan upaya pendekatan (diplomasi) dengan menawarkan penobatan Si Singamangaraja sebagai Sultan Batak, dengan berbagai hak istimewa sebagaimana lazim dilakukan Belanda di daerah lain. Namun Si Singamangaraja menolak tawaran itu.

Sehingga usaha untuk menangkapnya mati atau hidup semakin diaktifkan. Dan setelah melalui pengepungan yang ketat selama tiga tahun, akhirnya markasnya ketahuan oleh serdadu Belanda. Dalam pengejaran dan pengepungan yang sangat rapi, peristiwa tragis pun terjadi. Dalam satu pertempuran jarak dekat, komandan pasukan Belanda kembali memintanya menyerah dan akan dinobatkan menja Sultan Batak. Namun pahlawan yang merasa tidak mau tunduk pada penjajah ini lebih memilih lebih baik mati daripada menyerah.

Dalam sejarah perjuangan nasional Indonesia, ia seorang pejuang yang tidak mau berkompromi dengan Belanda. Sehingga terjadilah pertempuran sengit yang menewaskan hampir seluruh keluarganya melawan penjajah. Patuan Bosar Ompu Pulo Batu atau Raja Si Singamangaraja XII bersama dua putra dan satu putrinya serta beberapa panglimanya yang berasal dari Aceh gugur pada saat yang sama yaitu tanggal 17 Juni 1907 di Sionom Hudon. Kedua putranya itu yaitu putra sulungnya Patuan Nagari dan Patuan Anggi sedangkan putrinya bernama boru Lopian, srikandi sejati yang masih berumur 17 tahun.

Raja Si Singamangaraja XII tepatnya gugur di hutan daerah Simsim, Sindias di kaki gunung Sitapongan, kurang lebih 9-10 km dari Pearaja, Sionom Hudon, Tapanuli, Sumatera Utara. (Disebut Sionom Hudon, sesuai dengan keenam marga yang menguasai daerah itu yaitu Tinambunan, Tumanggor, Maharaja, Pinayungan, Turutan, dan Anakampun). Jenazahnya mula-mula dimakamkan di Tarutung, kemudian dipindahkan ke Sopo Surung Balige.

Keluarga Si Singamangaraja XII yang turut gugur dalam pertempuran melawan kolonial Belanda tersebut bukan hanya dua putra dan putri yang sangat disayanginya tersebut, tapi tidak lama sebelumnya, abangnya yang bernama Ompu Parlopuk juga sudah gugur ketika melancarkan perang Gerilya tersebut. Demikian halnya dengan sang Permaisuri Raja Si Singamangaraja XII, boru Situmorang, juga telah lebih dulu meninggal tidak lama sebelum wafatnya Si Singamangaraja XII akibat keletihan bergerilya di tengah hutan.

Bahkan, Pulo Batu, cucu yang sangat disayanginya, harus meninggal di usia muda sebelum kakeknya. Raja Si Singamangaraja XII alias Ompu Pulo Batu (Ompu Pulo Batu merupakan penamaan yang diambil dari nama cucu laki-laki paling sulung dari putranya paling sulung, dalam hal ini Pulo Batu merupakan anak sulung dari Patuan Nagari), akhirnya harus sama-sama wafat dengan cucu yang sebelumnya sangat diharapkannya menjadi penerus perjuangannya itu.

Perang Batak yang dipimpin Si Singamangaraja XII di Tapanuli, Sumatera Utara yang pecah sejak tahun 1878 itu, akhirnya berakhir sudah. Sejarah mencatat, ketika gugurnya sang pahlawan ini yang menjadi Gubernur Jenderal yaitu pemangku jabatan Kerajaan Belanda yang tertinggi daerah kolonial di Nusantara adalah Gubernur Jenderal J.B.van Heutsz, sedangkan Gubernur Militer di Aceh yang mencakup Sumatera Utara adalah Jenderal G.O.E.van Daalen.

Dan dibawah pasukan Kapten Christoffel alias ‘Si Macan Aceh’, seorang berkebangsaan Swiss yang sebelumnya hanya merupakan serdadu bayaran, namun kemudian tahun 1906 menjadi warga negara Belanda, akhirnya sang pahlawan, Raja Si Singamangaraja XII gugur tertembak.

Kapten Christoffel yang melaporkan gugurnya Raja Si Singamangaraja XII di Tanah Batak kepada Gubernur Jenderal J.B.van Heutsz di Bogor ketika itu membawa bukti jarahan berupa Piso Gaja Dompak dan Stempel Kerajaan. Stempel kerajaan dan Piso Gaja Dompak pun secara resmi disampaikan oleh Bataviaaschap Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Lembaga Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan di Batavia) pada rapatnya tanggal 7 Agustus 1907 kepada Museum di Gedung Gajah (Jalan Merdeka Barat sekarang-red). Piso Gaja Dompak waktu itu diberi tanda nomor 13425.

Mengenai pusaka yang satu ini, beberapa kalangan anggota keluarga Raja Si Singamangaraja XII mengklaim, bahwa Piso Gajah Dompak yang sebenarnya masih disimpan oleh anggota keluarga. Sementara yang lain mengatakan bahwa salah seorang dari pihak boru (pihak dari anak perempuan) yang menyimpannya. Bahkan ada pula yang mengatakan bahwa Piso Gaja Dompak itu telah menghilang ke langit.

Piso Gaja Dompak itu sendiri adalah satu keris yang panjangnya sekitar 60-70 cm dengan pegangan yang menyerupai patung gajah. Menurut keluarga Si Singamangaraja dan berdasarkan hasil penelitian berbagai sarjana, pusaka ini sudah ada sejak Si Singamangaraja I yaitu sekitar pertengahan abad XVI Masehi. Bersama stempel kerajaan, pusaka tersebut merupakan lambang penting dari pemerintahan Raja Si Singamangaraja I sampai ke XII.

Perang yang berlangsung selama 30 tahun itu memang telah mengakibatkan korban yang begitu banyak bagi rakyat termasuk keluarga Si Singamangaraja XII sendiri. Tapi walaupun Si Singamangaraja XII telah wafat, tidak berarti secara langsung membuat perang di tanah Batak berakhir, sebab sesudahnya terbukti masih banyak perlawanan dilakukan oleh rakyat Tapanuli khususnya pengikut dari Si Singamangaraja XII sendiri.

Di hati rakyat sudah tumbuh semangat kemerdekaan dari segala bentuk penindasan seperti yang sudah ditanamkan sang pahlawan. Namun perlawanan rakyat itu tidak lagi sebesar perlawanan yang dipimpin Si Singamangaraja XII, sebab Belanda sudah semakin banyak menguasai kampung-kampung. Di samping itu, ketika itu pemimpin perlawanan rakyat itu pun belum ada yang bisa menyamai Si Singamangaraja XII yang bisa menghimpun semua raja-raja di Tapanuli bahkan dari Aceh.

Sejak itu sejarah baru pun tertulis. Daerah Aceh dan Sumatera Utara bagian pedalaman yang sampai tahun 1903 masih belum bisa dikuasai Belanda dan bahkan sebelum wafatnya Si Singamangaraja XII pada tanggal 17 Juni 1907 itu, kekuasaan Hindia Belanda di Nusantara masih minus Sumatera Utara bagian pedalaman, akhirnya berakhir. Sejak itu lengkaplah seluruh wilayah Nusantara menjadi daerah jajahan Belanda sebab Sumatera Utara bagian pedalaman inilah yang merupakan daerah terakhir di Nusantara yang dimasukkan ke dalam kekuasaan pemerintahan penjajahan Belanda.

Jenderal Anti Komunis




Jenderal Achmad Yani terkenal sebagai seorang tentara yang selalu berseberangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketika menjabat Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) atau yang sekarang menjadi Kepala Staf Angkatan Darat sejak tahun 1962, ia menolak keinginan PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani.



Karenanya, dengan fitnah bahwa sejumlah TNI AD telah bekerja sama dengan sebuah negara asing untuk menjatuhkan Presiden Soekarno, PKI lewat Gerakan Tiga Puluh September (G 30/S) menjadikan dirinya salah satu target yang akan diculik dan dibunuh di antara tujuh petinggi TNI AD lainnya.

Peristiwa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari itu akhirnya menewaskan enam dari tujuh Perwira Tinggi Angkatan Darat yang sebelumnya direncanakan PKI. Lubang Buaya, lokasi dimana sumur tempat menyembunyikan jenazah para Pahlwawan Revolusi itu berada menjadi saksi bisu atas kekejaman komunis tersebut.

Jenderal yang sangat dekat dengan Presiden Soekarno, ini merupakan salah satu tangan kanan dan kepercayaan Sang Proklamator. Ia sangat cinta dan setia terhadap Bung Karno. Karena kecintaan dan kesetiaannya, ia bahkan pernah mengatakan, “Siapa yang berani menginjak bayang-bayang Bung Karno, harus terlebih dahulu melangkahi mayat saya.” Bahkan ada isu terdengar, bahwa Achmad Yani telah dipersiapkan oleh Bung Karno sebagai calon penggantinya sebagai presiden. Namun dirinya begitu dekat dengan Presiden Pertama RI itu, Achmad Yani tidak setuju dengan konsep Nasakom dari Soekarno. Isu dan prinsipnya itu akhirnya membuat PKI semakin benci terhadap dirinya.

Achmad Yani yang lahir di Jenar, Purworejo pada tanggal 19 Juni 1922, ini adalah putra dari Sarjo bin Suharyo (ayah) dan Murtini (ibu). Pendidikan formal diawalinya di HIS (setingkat Sekolah Dasar) Bogor, yang diselesaikannya pada tahun 1935. Kemudian ia melanjutkan sekolahnya ke MULO (setingkat Sekolah Menegah Pertama) kelas B Afd. Bogor. Dari sana ia tamat pada tahun 1938, selanjutnya ia masuk ke AMS (setingkat Sekolah Menengah Umum) bagian B Afd. Jakarta. Sekolah ini dijalaninya hanya sampai kelas dua, sehubungan dengan adanya milisi yang diumumkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Ia kemudian mengikuti pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang dan secara lebih intensif lagi di Bogor. Dari sana ia mengawali karier militernya dengan pangkat Sersan. Kemudian setelah tahun 1942 yakni setelah pendudukan Jepang di Indonesia, ia juga mengikuti pendidikan Heiho di Magelang dan selanjutnya masuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor.

Berbagai prestasi pernah diraihnya pada masa perang kemerdekaan, antara lain berhasil melucuti senjata Jepang di Magelang. Setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, dirinya diangkat menjadi Komandan TKR Purwokerto. Selanjutnya karier militernya pun semakin cepat menanjak.

Prestasi lain diraihnya ketika Agresi Militer Pertama Belanda terjadi. Pasukannya yang beroperasi di daerah Pingit berhasil menahan serangan Belanda di daerah tersebut. Maka saat Agresi Militer Kedua Belanda terjadi, ia dipercayakan memegang jabatan sebagai Komandan Wehrkreise II yang meliputi daerah pertahanan Kedu.

Setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan, ia diserahi tugas untuk menghancurkan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang mengacau di daerah Jawa Tengah. Ketika itu dibentuklah pasukan Banteng Raiders yang diberi latihan khusus. Alhasil, pasukan DI/TII pun berhasil ditumpasnya.

Seusai penumpasan DI/TII tersebut, ia ditarik ke Staf Angkatan Darat. Pada tahun 1955, ia disekolahkan pada Command and General Staff College di Fort Leaven Worth, Kansas, USA selama sembilan bulan. Dan pada tahun 1956, ia juga mengikuti pendidikan selama dua bulan pada Spesial Warfare Course di Inggris.

Pada tahun 1958 saat pemberontakan PRRI terjadi di Sumatera Barat, Achmad Yani yang masih berpangkat Kolonel diangkat menjadi Komandan Komando Operasi 17 Agustus, untuk memimpin penumpasan pemberontakan PRRI tersebut. Ia juga berhasil menumpas pemberontakan tersebut. Sejak itu namanya pun semakin cemerlang. Hingga pada tahun 1962, ia yang waktu itu berpangkat Letnan Jenderal diangkat menjadi Men/Pangad menggantikan Jenderal A.H. Nasution yang naik jabatan menjadi Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko Hankam/Kasab).

Saat menjabat Men/Pangad itulah kejadian naas terjadi. Jenderal yang terkenal sangat anti pada ajaran komunis itu pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 4:35 WIB, di kala subuh, diculik dan ditembak oleh PKI di depan kamar tidurnya hingga gugur. Dalam pencarian yang dipimpin oleh Soeharto (mantan Presiden RI) yang ketika itu masih menjabat sebagai Pangkostrad, jenazahnya ditemukan di Lubang Buaya terkubur di salah satu sumur tua bersama enam jenazah lainnya. Jenazah Achmad Yani dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, ia gugur sebagai Pahlawan Revolusi. Pangkatnya yang sebelumnya Letnan Jenderal dinaikkan satu tingkat sebagai penghargaan menjadi Jenderal.

Dia gugur karena mempertahankan kesucian Dasar dan Falsafah Negara, Pancasila, yang coba hendak diselewengkan komunis. Untuk menghormati jasa para pahlawan tersebut, maka di Lubang Buaya, dekat sumur tua tempat jenazah ditemukan, dibangun tugu dengan latar belakang patung ketujuh pahlawan Revolusi yakni enam Perwira Tinggi: Jend. TNI Anumerta Achmad Yani, Letjen. TNI Anumerta Suprapto, Letjen. TNI Anumerta S.Parman, Letjen. TNI Anumerta M.T. Haryono, Mayjen. TNI Anumerta D.I. Panjaitan, Mayjen. TNI Anumerta Sutoyo S, dan ditambah satu Perwira Pertama Kapten CZI TNI Anumerta Pierre Tendean. Tugu tersebut dinamai Tugu Kesaktian Pancasila.

Peristiwa 1 Oktober 1965 tersebut kemudian telah melahirkan suatu orde dalam sejarah pasca kemerdekaan republik ini. Orde yang kemudian lebih dikenal dengan Orde Baru itu menetapkan tanggal 1 Oktober setiap tahunnya sebagai hari Kesaktian Pancasila sekaligus sebagai hari libur nasional. Penetapan itu didasari oleh peristiwa yang terjadi pada hari dan bulan itu, dimana telah terjadi suatu usaha perongrongan Pancasila, namun berhasil digagalkan.

Belakangan setelah orde baru jatuh dan digantikan oleh orde yang disebut Orde Reformasi, peringatan hari Kesaktian Pancasila ini sepertinya mulai dilupakan. Terbukti tanggal 1 Oktober tersebut tidak lagi ditetapkan sebagai hari libur nasional sebagaimana sebelumnya.

Dalam pidato Bung Karno yang dikenal dengan “Jasmerah”, Bapak Bangsa itu menyebut agar jangan sekali-kali melupakan sejarah. Lebih tegas disebutkan, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mengingat dan menghargai sejarahnya. Hendaknya begitulah yang terdapat pada bangsa ini, khususnya pada para pemimpinnya.

Pangeran Diponegoro


Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Raden Mas Mustahar,[rujukan?] lalu diubah namanya oleh Hamengkubuwono II tahun 1805 menjadi Bendoro Raden Mas Antawirya.

Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.

Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.
[sunting]
Riwayat perjuangan

Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.

Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.

Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.

Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.
[sunting]
Penangkapan dan pengasingan
16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.

Lukisan karya Nicolaas Pieneman, "Penyerahan diri Pangeran Diponegero kepada Jenderal De Kock".
28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.
11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch.
30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado.
3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.
1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.
8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar.

Lokasi makam Pangeran Diponegoro di Makassar, Sulawesi Selatan.

Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen.

Bagus Singlon atau Ki Sodewo adalah Putera Pangeran Diponegoro dengan Raden Ayu Citrowati Puteri Bupati Madiun Raden Ronggo. Raden Ayu Citrowati adalah saudara satu ayah lain ibu dengan Sentot Prawiro Dirjo. Nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon atau Ki Sodewo snediri telah masuk dalam daftar silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem Keraton Yogyakarta.

Perjuangan Ki Sodewo untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam pada kematian eyangnya (Ronggo) dan ibundanya ketika Raden Ronggo dipaksa menyerah karena memberontak kepada Belanda. Melalui tangan-tangan pangeran Mataram yang sudah dikendalikan oleh Patih Danurejo, maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki Sodewo kecil dan Sentot bersama keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton sebagai barang bukti suksesnya penyerbuan.

Ki Sodewo yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Diponegoro lalu dititipkan pada sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya pergi dan selalu berpindah-pindah tempat agar keberadaannya tidak tercium oleh Belanda. Belanda sendiri pada saat itu sangat membenci anak turun Raden Ronggo yang sejak dulu terkenal sebagai penentang Belanda. Atas kehendak Pangeran Diponegoro, bayi tersebut diberi nama Singlon yang artinya penyamaran.

Keturunan Ki Sodewo saat ini banyak tinggal di bekas kantung-kantung perjuangan Ki Sodewo pada saat itu dengan bermacam macam profesi. Dengan restu para sesepuh dan dimotori oleh keturunan ke 7 Pangeran Diponegoro yang bernama Raden Roni Muryanto, Keturunan Ki Sodewo membentuk sebuah paguyuban dengan nama Paguyuban Trah Sodewo.

Setidaknya Pangeran Diponegoro mempunyai 17 putra dan 5 orang putri, yang semuanya kini hidup tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa, Sulawesi & Maluku.

Kisah Pahlawan Tuanku Imam Bonjol “Pemimpin Utama Perang Padri”


Tuanku Imam Bonjol (TIB) (1722-1864), yang diangkat sebagai pahlawan nasional berdasarkam SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, 6 November 1973, adalah pemimpin utama Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1837) yang gigih melawan Belanda.

Selama 62 tahun Indonesia merdeka, nama Tuanku Imam Bonjol hadir di ruang publik bangsa: sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan di lembaran Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001.

Namun, baru-baru ini muncul petisi, menggugat gelar kepahlawanannya. TIB dituduh melanggar HAM karena pasukan Paderi menginvasi Tanah Batak (1816-1833) yang menewaskan “jutaan” orang di daerah itu (http://www.petitiononline. com/bonjol/petition.html).

Kekejaman Paderi disorot dengan diterbitkannya buku MO Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinamabela Gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833 (2006) (Edisi pertama terbit 1964, yang telah dikritisi Hamka, 1974), kemudian menyusul karya Basyral Hamidy Harahap, Greget Tuanku Rao (2007).

Kedua penulisnya, kebetulan dari Tanah Batak, menceritakan penderitaan nenek moyangnya dan orang Batak umumnya selama serangan tentara Paderi 1816-1833 di daerah Mandailing, Bakkara, dan sekitarnya (Tempo, Oktober 2007).

Mitos kepahlawanan

Munculnya koreksi terhadap wacana sejarah Indonesia belakangan ini mencuatkan kritisisme terhadap konsep pahlawan nasional. Kaum intelektual dan akademis, khususnya sejarawan, adalah pihak yang paling bertanggung jawab jika evaluasi wacana historis itu hanya mengakibatkan munculnya friksi di tingkat dasar yang berpotensi memecah belah bangsa ini.

Ujung pena kaum akademis harus tajam, tetapi teks-teks hasil torehannya seyogianya tidak mengandung “hawa panas”. Itu sebabnya dalam tradisi akademis, kata-kata bernuansa subyektif dalam teks ilmiah harus disingkirkan si penulis.

Setiap generasi berhak menafsirkan sejarah (bangsa)-nya sendiri. Namun, generasi baru bangsa ini—yang hidup dalam imaji globalisme—harus menyadari, negara-bangsa apa pun di dunia memerlukan mitos-mitos pengukuhan. Mitos pengukuhan itu tidak buruk. Ia adalah unsur penting yang di-ada-kan sebagai “perekat” bangsa. Sosok pahlawan nasional, seperti Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Sisingamangaraja XII, juga TIB, dan lainnya adalah bagian dari mitos pengukuhan bangsa Indonesia.

Jeffrey Hadler dalam “An History of Violence and Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and Uses of History” (akan terbit dalam Journal of Asian Studies, 2008) menunjukkan, kepahlawanan TIB telah dibentuk sejak awal kemerdekaan hingga zaman Orde Baru, setidaknya terkait tiga kepentingan.

Pertama, menciptakan mitos tokoh hero yang gigih melawan Belanda sebagai bagian wacana historis pemersatu bangsa.

Kedua, mengeliminasi wacana radikalisme Islam dalam upaya menciptakan negara-bangsa yang toleran terhadap keragaman agama dan budaya.

Ketiga, “merangkul” kembali etnis Minang ke haribaan Indonesia yang telah mendapat stigma negatif dalam pandangan pusat akibat peristiwa PRRI.

Kita tak yakin, sudah adakah biji zarah keindonesiaan di zaman perjuangan TIB dan tokoh lokal lain yang hidup sezaman dengannya, yang kini dikenal sebagai pahlawan nasional.

Kita juga tahu pada zaman itu perbudakan adalah bagian sistem sosial dan beberapa kerajaan tradisional Nusantara melakukan ekspansi teritorial dengan menyerang beberapa kerajaan tetangga. Para pemimpin lokal berperang melawan Belanda karena didorong semangat kedaerahan, bahkan mungkin dilatarbelakangi keinginan untuk mempertahankan hegemoni sebagai penguasa yang mendapat saingan akibat kedatangan bangsa Barat. Namun, mereka akhirnya menjadi pahlawan nasional karena bangsa memerlukan mitos pemersatu.

Bukan manusia sempurna

Tak dapat dimungkiri, Perang Paderi meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berbunuhan adalah sesama orang Minangkabau dan Mandailing atau Batak umumnya.

Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Kompeni melibatkan diri dalam perang itu karena “diundang” kaum Adat.

Pada 21 Februari 1821 mereka resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman Minangkabau) kepada Kompeni dalam perjanjian yang diteken di Padang, sebagai kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi. Ikut “mengundang” sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Muningsyah yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin Tuanku Pasaman di Koto Tangah, dekat Batu Sangkar, pada 1815 (bukan 1803 seperti disebut Parlindungan, 2007:136-41).

Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Agama melawan Belanda. Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB)— transliterasinya oleh Sjafnir Aboe Nain (Padang: PPIM, 2004), sebuah sumber pribumi yang penting tentang Perang Paderi yang cenderung diabaikan sejarawan selama ini—mencatat, bagaimana kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda.

Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Di ujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau sendiri.

Dalam MTIB, terefleksi rasa penyesalan TIB atas tindakan kaum Paderi atas sesama orang Minang dan Mandailing. TIB sadar, perjuangannya sudah melenceng dari ajaran agama. “Adapun hukum Kitabullah banyaklah yang terlampau dek oleh kita. Bagaimana pikiran kita?” (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?), tulis TIB dalam MTIB (hal 39).

Penyesalan dan perjuangan heroik TIB bersama pengikutnya melawan Belanda yang mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837)—seperti rinci dilaporkan De Salis dalam Het einde Padri Oorlog: Het beleg en de vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een bronnenpublicatie [Akhir Perang Paderi: Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837; Sebuah Publikasi Sumber] (2004): 59-183—mungkin dapat dijadikan pertimbangan untuk memberi maaf bagi kesalahan dan kekhilafan yang telah diperbuat TIB.

Kini bangsa inilah yang harus menentukan, apakah TIB akan tetap ditempatkan atau diturunkan dari “tandu kepahlawanan nasional” yang telah “diarak” oleh generasi terdahulu bangsa ini dalam kolektif memori mereka. (Kompas 10/11/2007 Oleh Suryadi, Dosen dan Peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Oceanië, Universiteit Leiden, Belanda).

SEJARAH Pahlawan Nasional : Cut Nyak Dhien


Apabila bulan tersenyum/ Di atas bumi merdeka/ Dia adalah wajah Tjut Nyak Dhien Apabila angin berembus / Membelai bumi Mugo yang suci/ Dia adalah nafas Tjut Nyak Dhien (Balada Tjut Nyak Dhien, WS Rendra)

Cut Nyak Dhien adalah ikon perempuan pejuang dari Aceh. Lahir di Lampadang, 1848, putri Teuku Nanta Setia, seorang hulubalang VI Mukim, yang masih keturunan Mahmud Sati, perantau dari Sumatera Barat.

Pada usia 12 tahun, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Ibrahim Lamnga, seorang uleebalang yang terlibat perang melawan agresi Belanda pertama, 6 April 1873 di Kutaradja.

Perang terdahsyat

Dalam buku Paul Van’t Veer, De Atjeh Oorlog, perang itu digambarkan sebagai satu dari empat babak peperangan terdahsyat Belanda di Aceh. Teuku Lamnga ikut dalam aksi merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang dikuasai Belanda, 10 April 1873.

Ia juga menjadi saksi saat panglima perang Belanda, Mayor Jenderal JHR Köhler, tersungkur oleh peluru pasukan Aceh. Ucapan terakhir Köhler, 0, God, ik ben getroffen!! (”Ya Tuhan, aku tertembak”).

Sepeninggal suami pertama yang tewas dalam pertempuran di Gle Tarum, Aceh Besar (1878), Cut Nyak Dhien diperistri Teuku Umar. Pasangan ini tidak pernah serasi, apalagi saat Teuku Umar membelot ke Belanda, 1893. Mereka ”bercerai” kala Umar memilih memperluas kekuasaan bersama Belanda dan digelari Teuku Djohan Pahlawan.

Namun, dasar Umar. Ia bukan abdi dalem yang setia. Tahun 1896 ia kembali menusuk Belanda dari belakang ketika stamina logistik dan militernya telah cukup kuat. Umar akhirnya tertembak pasukan Belanda, 11 Februari 1899, meski tidak pernah diketahui apakah meninggal saat itu juga. Ia menjadi mitos menyejarah dalam perlawanan Cut Nyak Dhien.

Seperti kisah pengkhianatan yang lekat dalam sejarah, Cut Nyak akhirnya tertangkap oleh informasi pang laot Ali. Di tengah hujan lebat petang 4 November 1905, ia disergap di Babah Krueng Manggeng, Aceh Barat. Pemerintah Belanda memutuskan melepaskannya dari ”akar perjuangan” dan diasingkan ke Sumedang. Di usia renta ia mengajar mengaji anak-anak dan ibu di Sumedang. Mereka hanya mengenal Cut Nyak dengan panggilan Ibu Perbu (ibu ratu) dan tak pernah tahu perjuangannya di tanah utara Sumatera itu. Ia wafat 6 November 1908, dikubur di kompleks makam para raja, Gunung Puyuh.

Memori yang terlupa

Kisah Cut Nyak Dhien mirip ungkapan Mahmoud Darwish, ”memori yang terlupa” (memory of forgetfulness). Keberadaannya sempat hilang dari peredaran sejarah Nusantara. Pemerintah Aceh baru ”menemukan” makam Cut Nyak Dhien tahun 1959 ketika Ali Hasjmy mengunjungi perpustakaan Leiden, Belanda, dan menemukan fakta pembuangan itu.

Padahal, sejarah tentangnya mengalir deras bak Sungai Wolya dalam syae (cerita) masyarakat Aceh. Sekian lama ia dikisahkan oleh masyarakat, tetapi tidak pernah ”terhistorisasi”, dianggap mitos oleh masyarakat nasional dan elite. Bahkan, ketika akhirnya dikukuhkan sebagai pahlawan nasional melalui SK Presiden Soekarno No 106/1964, makamnya tidak seperti cagar sejarah nasional. Pemerintah tak pernah membiayai makam dan rumah tempat pengungsian yang ternyata masih milik pribadi keturunan yang mengurus Cut Nyak masa itu. Pernah suatu masa makamnya sepi karena terlalu banyak aparat berjaga-jaga dan menginterogasi pengunjung setelah muncul Gerakan Aceh Merdeka (1976).

Sebenarnya sejarah harus berjalan di aras moralitas utama: bukti dan fakta, dan mendemistifikasi segala hal yang tak terkait pada pencarian kebenaran (seks, ras, dan etnis). Keetnisan Aceh telah menyebabkan apa yang muncul dari masa lalunya dianggap terlalu dibesar-besarkan, dilebih-lebihkan. Dalam ungkapan Robert F Berkhofer, ”Sejarah tidak bisa didenaturalisasi.” Ia harus hidup meski berupa cerita yang bersambung-sambung di sebuah komunitas, minoritas sekalipun, dan disampaikan secara oral. Status borjuis sejarah, kata Roland Barthes, harus dipatahkan oleh kemauan keras mendengar hal-hal khusus yang terdapat di masyarakat lain.

Kiranya ingatan atas Cut Nyak Dhien saat ini perlu diperbarui total. Yang dibutuhkan adalah dekonstruksi simbolis atas kisah perlawanannya dan bukan mengingat sifat keras kepalanya dan menganggap sebagai inti kebudayaan Aceh. Bukti atas masa lalu memang tidak bisa digoyang. Sejarawan telah merekonstruksi masa lalu sebagai ”ilmu” bagi kita yang butuh ingatan. Yang mungkin dilakukan adalah memperbarui tafsir atas masa lalu agar ia bertenaga di masa kini.

Heroisme Cut Nyak harus terhargai sebagai pengorbanan Aceh atas bangsa ini. Seperti juga pengakuan atas Kartini, Rasuna Said, dan Dewi Sartika sebagai pahlawan-pahlawan wanita nasional.

Mengingat sejarah hanya ada sejarah manusia, maka, merunut pemikiran Max Weber, sejarah Cut Nyak harus selalu dipilin dan dipintal dalam jaring-jaring makna. Tugas kitalah memperbarui makna itu pada haul seabad wafatnya. Seperti puisi Rendra di awal, yang lahir setelah mendengar cerita seorang sahabatnya, pelukis ekspresionis Aceh, Lian Sahar, dan membayar kreativitasnya Rp 25 pada tahun 1957.

SEJARAH PATTIMURA


Kapitan Pattimura (1783 -1817)
Pahlawan Nasional dari Maluku


Kapitan Pattimura yang bernama asli Thomas Matulessy, ini lahir di Negeri Haria, Saparua, Maluku tahun 1783. Perlawanannya terhadap penjajahan Belanda pada tahun 1817 sempat merebut benteng Belanda di Saparua selama tiga bulan setelah sebelumnya melumpuhkan semua tentara Belanda di benteng tersebut. Namun beliau akhirnya tertangkap. Pengadilan kolonial Belanda menjatuhkan hukuman gantung padanya. Eksekusi yang dilakukan pada tanggal 16 Desember 1817 akhirnya merenggut jiwanya.

Perlawanan sejati ditunjukkan oleh pahlawan ini dengan keteguhannya yang tidak mau kompromi dengan Belanda. Beberapa kali bujukan pemerintah Belanda agar beliau bersedia bekerjasama sebagai syarat untuk melepaskannya dari hukuman gantung tidak pernah menggodanya. Beliau memilih gugur di tiang gantung sebagai Putra Kesuma Bangsa daripada hidup bebas sebagai penghianat yang sepanjang hayat akan disesali rahim ibu yang melahirkannya.

Dalam sejarah pendudukan bangsa-bangsa eropa di Nusantara, banyak wilayah Indonesia yang pernah dikuasai oleh dua negara kolonial secara bergantian. Terkadang perpindahtanganan penguasaan dari satu negara ke negara lainnya itu malah kadang secara resmi dilakukan, tanpa perebutan. Demikianlah wilayah Maluku, daerah ini pernah dikuasai oleh bangsa Belanda kemudian berganti dikuasai oleh bangsa Inggris dan kembali lagi oleh Belanda.

Thomas Matulessy sendiri pernah mengalami pergantian penguasaan itu. Pada tahun 1798, wilayah Maluku yang sebelumnya dikuasai oleh Belanda berganti dikuasai oleh pasukan Inggris. Ketika pemerintahan Inggris berlangsung, Thomas Matulessy sempat masuk dinas militer Inggris dan terakhir berpangkat Sersan.

Namun setelah 18 tahun pemerintahan Inggris di Maluku, tepatnya pada tahun 1816, Belanda kembali lagi berkuasa. Begitu pemerintahan Belanda kembali berkuasa, rakyat Maluku langsung mengalami penderitaan. Berbagai bentuk tekanan sering terjadi, seperti bekerja rodi, pemaksaan penyerahan hasil pertanian, dan lain sebagainya. Tidak tahan menerima tekanan-tekanan tersebut, akhirnya rakyat pun sepakat untuk mengadakan perlawanan untuk membebaskan diri. Perlawanan yang awalnya terjadi di Saparua itu kemudian dengan cepat merembet ke daerah lainnya diseluruh Maluku.

Di Saparua, Thomas Matulessy dipilih oleh rakyat untuk memimpin perlawanan. Untuk itu, ia pun dinobatkan bergelar Kapitan Pattimura. Pada tanggal 16 mei 1817, suatu pertempuran yang luar biasa terjadi. Rakyat Saparua di bawah kepemimpinan Kapitan Pattimura tersebut berhasil merebut benteng Duurstede. Tentara Belanda yang ada dalam benteng itu semuanya tewas, termasuk Residen Van den Berg.

Pasukan Belanda yang dikirim kemudian untuk merebut kembali benteng itu juga dihancurkan pasukan Kapitan Pattimura. Alhasil, selama tiga bulan benteng tersebut berhasil dikuasai pasukan Kapitan Patimura. Namun, Belanda tidak mau menyerahkan begitu saja benteng itu. Belanda kemudian melakukan operasi besar-besaran dengan mengerahkan pasukan yang lebih banyak dilengkapi dengan persenjataan yang lebih modern. Pasukan Pattimura akhirnya kewalahan dan terpukul mundur.

Di sebuah rumah di Siri Sori, Kapitan Pattimura berhasil ditangkap pasukan Belanda. Bersama beberapa anggota pasukannya, dia dibawa ke Ambon. Di sana beberapa kali dia dibujuk agar bersedia bekerjasama dengan pemerintah Belanda namun selalu ditolaknya.

Akhirnya dia diadili di Pengadilan kolonial Belanda dan hukuman gantung pun dijatuhkan kepadanya. Walaupun begitu, Belanda masih berharap Pattimura masih mau berobah sikap dengan bersedia bekerjasama dengan Belanda. Satu hari sebelum eksekusi hukuman gantung dilaksanakan, Pattimura masih terus dibujuk. Tapi Pattimura menunjukkan kesejatian perjuangannya dengan tetap menolak bujukan itu. Di depan benteng Victoria, Ambon pada tanggal 16 Desember 1817, eksekusi pun dilakukan.

Kapitan Pattimura gugur sebagai Pahlawan Nasional. Dari perjuangannya dia meninggalkan pesan tersirat kepada pewaris bangsa ini agar sekali-kali jangan pernah menjual kehormatan diri, keluarga, terutama bangsa dan negara ini. ► juka